Oleh : Zacky Antony
Pesan orangtua kita dulu, hati-hati, dalam hidup ini berlaku hukum karma. Apa yang kita lakukan, itulah yang akan dituai. Siapa menyakiti, dia juga akan tersakiti. Siapa suka menindas, dia juga akan ditindas. Siapa sombong saat berada di atas, dia akan hina saat berada di bawah. Siapa zalim saat berkuasa, namanya akan kotor sepanjang masa.
Siapa punya rencana buruk, niat busuk itu akan menusuk dirinya sendiri. Siapa suka merendahkan sesama, dia juga akan direndahkan oleh orang lain. Siapa suka menghibah, dosa orang yang dighibah akan berpindah kepadanya. Siapa jahat kepada orang tua, hidupnya tidak akan berkah. Siapa suka menyepelekan orang lain, yang disepelekan itu bisa jadi orang penting. Siapa suka mendorong kawan ke jurang, justru dia yang terpental duluan.
Boleh percaya, boleh tidak. Begitulah karma kehidupan memberi pelajaran. Disadari atau tidak, sekarang karma kehidupan itu menjelma dalam bentuk virus corona. Yang dulu jarang silaturahmi keluarga di kampung, sekarang justru dibuat rindu. Tapi mudik lebaran sudah dilarang. Bahkan ada yang terpaksa berpisah lama dengan keluarga karena tak bisa kembali ke tanah air.
Berkunjung atau dikunjungi sudah tak sebebas dulu lagi. Yang malas ngantor, dijadikan corona work from home. Yang suka menimbun harta kekayaan, kini terus rugi akibat aktifitas ekonomi mati. Bahkan, sebagian terpaksa melakukan PHK karyawan. Yang malas sekolah/kuliah, sekarang rindu berat dengan sekolah atau kampus setelah berbulan-bulan belajar online.
Disadari atau tidak, pandemi corona memberi pelajaran berharga kepada umat manusia. Tanpa memandang suku, agama, ras atau golongan. Yang suka pelesiran, sekarang bepergian dibatasi. Dulu menganggap remeh bertani, sekarang mulai sibuk berkebun karena minim order. Yang suka jual mahal, sekarang konsumen hilang akibat turunnya daya beli.
Kehidupan semakin tidak terprediksi. Semua bisa terbolak-balik. Banyak perusahaan-perusahaan besar dulu berjaya, sekarang bangkrut. Menurut data World Bank, 60 persen perusahaan bisnis di dunia mengalami kebangkrutan dihantam pandemi corona. Dulu perkasa, sekarang tak berdaya. Dulu happy-happy saja, sekarang kena PHK.
Kaya atau miskin, kini bisa cepat berubah. Siapa sangka satu desa kaya mendadak sampai memborong mobil Alphard, Innova dll. Desa Sumurgeneng, Tuban, Jawa Timur sampai dijuluki “kampung miliarder” setelah warga desa tersebut memborong 176 mobil mewah. Rata-rata warga desa mendapat berkah uang Rp 8 miliar dari ganti rugi lahan kilang minyak.
Siapa sangka juga si A menjadi miskin gara-gara harta disita KPK. Siapa kira pula, si B yang dulu gagah perkasa ketika menjabat, di penghujung hidupnya didera sakit berkepanjangan. Mulia atau hina bisa bertukar tempat. Kemarin-kemarin masih duduk di kursi menteri, sekarang pindah ke balik jeruji besi. Tak ada lagi fasilitas mewah, rumah, mobil dan gaji.
Roda kehidupan bergerak sangat cepat. Yang di atas, dalam sekejap bisa berada di bawah. Yang di bawah bisa juga melesat ke atas. Semua bisa terjadi apabila Allah menghendaki.
Kesombongan adalah rasa tinggi hati. Merasa diri kuasa dan berlebih dibanding yang lain. Rasa tinggi hati ini umumnya muncul karena banyak uang, banyak ilmu, dan banyak-banyak yang lain. Banyak ibadah pun bisa memunculkan rasa tinggi hati. Sehingga memandang sepele orang yang ibadahnya sedikit.
Apapun kelebihan kita, toh pada akhirnya semua akan berakhir sama. Kendaraan terakhir kita sama yakni keranda mayat. Pakaian terakhir kita sama yaitu selembar kain kafan. Dan rumah terakhir kita sama-sama balikpapan.
Tetaplah bersyukur dalam keadaan apapun. Tidak perlu terlalu mengejar sesuatu karena ada Dia Maha Pengatur. Yang terpenting adalah menjaga tauhid kita total seratus persen. Bukan sembilan puluh persen, tujuh puluh persen, apalagi lima puluh persen.
*Penulis adalah Ketua PWI Provinsi Bengkulu