Oleh Zacky Antony
Malam Minggu (3/4/2021), bakda Magrib, saya dan istri sudah berada di RS Tiara Sella Jl. S Parman Kota Bengkulu. Saya sengaja Magrib di luar rumah untuk mengejar jam bezuk pukul 18.00 – 20.00 WIB. Siang harinya saya memang sudah berpesan ke istri, nanti malam kita menjenguk Sahyarudin. Kondisinya kritis.
Setelah bertanya ke seorang perawat, kami naik ke lantai M. Tempat rekan kami Sahyarudin (55), dirawat di Ruang ICU (Intensif Care Unit). Sebelumnya, dia lebih dulu dirawat di kamar 305 lantai 5.
Ketika siang harinya membaca info di grup WA beliau pindah ke ruang ICU, saya sudah menaruh firasat tidak enak. Maklum, ICU adalah ruang darurat. Pasien yang dirawat di ICU umumnya dalam kondisi koma atau darurat. Butuh pertolongan medis yang ekstra.
Benar saja. Saat masuk ke ruang ICU, Sahyarudin masih dalam kondisi tidak sadar. Saya melihat di hidungnya masih terpasang ventilator untuk membantu pernafasan. Suara dia menarik nafas masih terdengar jelas. Beberapa kabel terhubung ke monitor.
Terdengar suara tit tit tit dari layar monitor sambil menampilkan grafis kinerja organ tubuh seperti detak jantung, tekanan darah dan kadar oksigen dalam darah.
Saya tidak tega melihat kondisinya. Tak sampai lima menit, saya keluar dari ruang ICU. Saya lihat istri sedang ngobrol dengan istri Sahyar, Halimah.
Dari cerita Halimah, pada hari Sabtu, Sahyarudin masih sempat pergi ke Kaur, kampung halaman istrinya. Meski sempat dicegah oleh istri, namun Sahyarudin tetap nekat ingin berangkat ke Kaur karena ada hajatan keluarga. “Nggak enak kalau tidak pergi Ma,” ujar Sahyar seperti ditirukan sang istri.
Sepulang dari Kaur itulah, dia terpaksa dirawat di rumah sakit karena badan kejang-kejang. Diketahui gula darahnya sempat mencapai 400 mg. Normalnya 80 – 120 mg.
Ternyata malam Minggu itu menjadi kesempatan terakhir saya melihatnya. Esoknya, Minggu (4/4) sore, saya baru saja memasukkan mobil ke garasi ketika istri memberitahu Sahyarudin meninggal. Rupanya istri saya melihat informasi di WAG IKWI. Saya sendiri belum buka HP. Setelah membuka HP benar saja, di WAG PWI sudah dipenuhi ucapan innalillahi wainna ilaihi rojiun.
Sahyarudin lahir di Curup Kabupaten Rejang Lebong pada 3 November 1966. Meninggalkan satu orang istri, Halimah. Empat orang anak masing-masing Angga Warta Syahputra, Rachma Dwi Syahfitri, Ruliansyah dan Rikei Rafsanjani. Dua orang menantu yakni Novita Sari dan Yoba Farizky. Serta satu orang cucu, Muhammad Genta Pratama.
Sebelum kabar dia dirawat di rumah sakit, saya sempat dua kali bersama seorang teman, menjenguk Sahyarudin di kediamannya Kelurahan Betungan. Kondisinya saat itu sehat. Dia sangat terhibur. Bahkan kami ngobrol sampai tengah malam. Saat ingin pamit pulang, dia sempat mencegah. “Kelaklah (nantilah),” katanya berusaha menahan.
Yang saya tangkap dari ngobrol-ngobrol tersebut, dia butuh teman bertukar pikiran. Maklum, setahun lebih terbaring sakit. Hanya sesekali keluar rumah. Itupun harus dibantu anggota keluarga. Tentu membosankan. Meski sakit, dia semangat diajak diskusi. Tentang apa saja.
Sahyarudin sudah lima tahun terakhir mendampingi saya sebagai Sekretaris PWI Provinsi Bengkulu (2015 – 2021). Usianya sebelas tahun lebih tua dari saya. Karenanya saya dan teman-teman biasa memangilnya kando. Itu panggilan akrab untuk para pengurus yang lebih tua usia. Yang berusia lebih muda, kami panggil dindo.
Selama lima tahun ini pula, dia aktif mengikuti setiap kegiatan PWI. Saat Bengkulu menjadi tuan rumah Konferensi Kerja Nasional (Konkernas) PWI Tahun 2017, dia termasuk yang paling sibuk. Bersama saya, setiap acara HPN tidak pernah absen. Terakhir HPN di Surabaya tahun 2019. HPN 2020 di Banjarmasin, dia sudah sakit sehingga tak bisa hadir.
Pengalaman kewartawanannya dimulai di RRI Bengkulu. Pernah satu periode menjadi komisioner KPU Kepahiang. Dia aktif di PWI sejak lama. Di saat sedang sakit, dia masih berusaha datang. Kegiatan terakhir PWI yang sempat diikutinya adalah pengecatan Tugu Pers Bengkulu di Kelurahan Kampung Cina menjelang HPN 9 Februari 2021.
Saya dan teman-teman kaget melihat dia datang. Karena dia belum bisa berjalan mandiri. Harus dipapah. Semangatnya untuk hadir membuat yang lain terpacu.
Bila ingat hari pengecatan tugu pers itu, tidak disangka dia akan pergi begitu cepat. Tapi beginilah kehidupan. Tidak ada yang abadi. Ketika ajal tiba. Semuanya harus ditinggalkan. Harta, jabatan, anak, istri dan para sahabat.
Saya mencoba menghitung-hitung; satu, dua, tiga, empat, dst. Sederet teman sudah pulang duluan menghadap sang khalik. Sama seperti Sahyarudin, teman-teman tadi meninggal sebelum mencapai usia wafat Nabi Muhammad 63 tahun. Bahkan ada yang belum 50 tahun.
Semoga ini menjadi renungan bagi kita yang masih hidup. Bahwa kita pasti akan menyusul. Kematian adalah kepastian yang sudah ditegaskan dalam Alquran. Hanya waktunya kita tidak tahu kapan. Bisa hari ini, besok, lusa atau kapan saja. Tak peduli tua atau muda.
Selamat jalan Kando Sahyarudin. Semoga husnul khatimah. Amin.
*Penulis adalah Ketua PWI Provinsi Bengkulu